Tag Archives: Puisi

17Feb/20

Puisi

Terukir Saat Bersama, Namun Rapuh Saat Berpisah

Oleh: Moch. Sukron Makmun

Sumber: Dokumen Pribadi

Musim telah berganti…

Kemarau pun telah tiba…

Kini angin bertiup kencang

Daun-daun telah gugur bertebaran

Bahkan air sungai pun telah mengering

Bumi ini telah tandus…

Hal yang baru telah tiba

Bahkan kita berpijak di bumi yang sama

Berada di bawah nangungan yang sama

Berjabat tangan, saling mengenal, saling sapa…

Tanpa rasa sadar kehidupan baru akan ku lintasi bersamamu kawan…

Dengan terbenamnya sang surya disitulah terbentuk sebuah hubungan persahabatan…

Kawan…                                                                          

Kau bagaikan jam tangan yang melingkari pergelanganku…

Setiap saat kau selalu hadir disisiku

Pundak tubuh ini kau jadikan sebuah sandaran

Jari jari tangan ini mampu menyuapimu

Dalam persahabatan inilah aku dapat mengukir kenangan indah di saat bersamamu…

Kawan kau telah hadir dalam hidupku

Sulit untukku melepaskanmu

Tetapi kini aku tak berdaya…

Kau telah berpaling dariku…

Kau telah membuat hatiku remuk

Kau telah meninggalkan aku sendirian di bawah atap rumah kayu…

Hati ini tak mampu untuk menampung kepedihan

Kini hatiku telah rapuh disaat berpisah

Kawan apa kau tau

Hubungan ini bagaikan kayu jati yang di gerumuni oleh rayap…

Kayu itu begitu kuat…

Namun pada dasarnya kayu itu akan tetap rapuh…

Tetapi diri ini tetap berharap kau kembali kepadaku…

Kawan aku akan menantimu…

Untuk kembali kepadaku

16Dec/19

Rindu dariku, Jenuh olehmu

Karya : Melati Indah Sari

kepada jarak

Ribuan kilo meter disana

aku tak faham

akankah langitmu sama?

senja masih kau tatap dengan rasa

embun kau balut dengan cinta

pagi dan malam kau selimuti rasa suka duka

ataukah

langitmu kini berbeda?

senja hanya bak kertas usang

tak kau lihat bahkan terbuang

pagimu tak terjaga

malam hening kau sia sia kan begitu saja

Kepada waktu yang telah ku tunggu

inikah pertanda rindu

jatuhnya bak daun berguguran

tak tentu arah

tak temu waktu salah

dimanapun

kapanpun ia mau

rindu datang bertuan tak karuan.

Bagaimana denganya?

akankah rindu bersanding rindu

Ataukah rindu bertepuk dengan acuh dan gaduh

Semoga jenuh tak menghentikan rindu

Semoga bosan tak hentikan rasa

Semoga kita tak berpisah selamanya.

16Dec/19

Persekusi di Ruang Konferensi

Ada kalimat yang tidak mampu

Dijangkau ruang dan waktu.

Ada pemikiran yang tidak dapat ditahan

Karena paradigma kebebasan tanpa batasan.

Jika akhir skenarionya banyak menelan korban,

Dengan dalih kebenaran tidak untuk dibungkam.

Konferensi,

Bukan medan mematahkan segala argumentasi,

Memudarkan justifikasi,

Ataupun memburamkan segala eksistensi

Masih saja dengan persepsi bahwa yang tampil menyuarakan narasi

Adalah pribadi yang sangat berarti,

Membangun pendapat orang agar kita terlihat peduli.

Ini, hanya bisikan hati dalam anomali arogansi

Tentang harga diri,

Yang masih saja sebagai acuan destinasi.

Istilahnya ‘demi citra diri’.

Lupa diri…

Basi

Ketika konferensi sebagai kancah memperbaiki.

Ajang evaluasi.

Bertonggak toleransi.

Resistansi kolaborasi.

Tidak akan ada persekusi di ruang konferensi.

Lagi.

Malang, 26 Agustus 2019

Karya : Asfira Zakiatun Nisa’

16Dec/19

Intrik dalam Politik Dramatik

Filantropi kini sudah tiada arti

Begitu pula tak ada harganya setiap argumentasi

Membunuh mati dalam tuntutan menjadi ajang kontestasi

Bahkan menggadaikan keimanan bukan suatu hal langka lagi

Lantaran hanya selalu mengutamakan istilah ‘Demi’

Hujah perjuangan yang selama ini kita suarakan

Belum sempat membuahkan keberhasilan

Banyak diantaranya yang memicu pertengkaran

Demi memperebutkan kursi kekuasaan

Tanpa peduli lagi tentang harga dan nilai kebenaran

Duduk politik yang kian mencabik-cabik

Membuat transisi politik autentik menjadi sintetik

Karena ini bukan perihal fanatik yang menarik

Bukan pula soal polemik yang membungkam segala kritik

Ini tantang kami yang menginginkan regulasi politik yang apik

Bukan politik dramatik yang penuh akan intrik

Untukmu para petinggi yang saat ini bersandar di tahta mewahnya

Sekolah tinggi ataupun sarjana boleh saja

Tapi kami tak butuh politisi yang hanya mengandalkan retorika tanpa aksi nyata

Dan siapalah kami? Kami hanyalah rakyat biasa

Yang terombang-ambing dalam arus dilema sengketa

Hingga sampai saat ini tak berhenti menanti sejuta harap, cita, dan asa

Cita untuk Indonesia merdeka yang sesungguhnya.

Blitar, 22 Juni 2019

Karya : Asfira Zakiatun Nisa’

13Dec/19

Petrikor Semesta

Kau, aku, dan narasi amerta

Tentang cinta yang bernyawa,

Cita-cita yang nyata.

Tentang lika liku luka

Hidup dan mati setelahnya

Dalam muara petrikor semesta

Kau, aku, dan narasi amerta

Tak mampu ditafsirkan segala paradigma

Tak dapat dita’rifkan bak kuantum fisika

Di sela-sela lakuna yang tak terjamah logika

Terukir kisah kita yang melegenda

Aku, putra bangsa

Dalam muara petrikor semesta

Kau, aku, dan narasi amerta

Yang tersurat dalam hikayat candramawa

Yang tak pernah menafikkan perihal rasa ataupun setia

Dalam renjis belantara renjana

Kau, tokoh utama dari seluruh wacana

Dalam muara petrikor semesta

Tentu saja.

Malang, 20 Agustus 2019

13Dec/19

Metafora Angka

Tertuang dalam celah yang hampir patah

Angka menjejak diatas jumantara yang terbelah

Doktrin yang berpilin dalam teorema yang mengejewantah

Renjana, bersimpuh dalam syair mirat falsafah

Inilah sebuah kisah dengan langkah yang menggema dalam ukiran sejarah

Sejatinya, kita adalah kafilah yang berpacu menerpa logika dalam gelagah.

Membuka kelima indra hingga terasa getaran betapa tak cukup berdiam dalam nyaman

Aksioma mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak membutuhkan suatu alasan

Tapi, perlu kau tau makna dan arti yang tergadai dalam nurani

Entah saat ini ataupun nanti, hasil tak akan pernah menghianati

Memang metafora angka yang kita pahami tak dapat dieja dengan rentetan algoritma

Aproksimasi dalam lembah yang tak terjamah secara harfiah pun hanya sebatas lemma

Tergores dalam kekuatan dari segala ketakutan

Inginkan kepastian yang kita temukan dari segala keraguan

Karena kami adalah perintis jalan yang mendobrak perbedaan

Analogi tanpa ketaksaan, kami berdiri tegap di atas metafora angka yang akan kita buktikan.

Blitar, 17 Juli 2019

13Dec/19

Zenith dan Nadir

Yang terpintal dalam segala ihtifal,

Dalam dinding-dinding okultasi irasional,

Bermuara dalam aliran akal,

Semacam diferensial,

Kaum feodal

Kau Zenith dan aku Nadir,

Kau bak batuan safir sedang aku hanya tiara berbungkus pasir

Kita terpisah dalam lautan horizon yang berdesir

Dengan hembusan ego yang kian menghilir

Camkan! Aku tak akan berhenti menggumamkan dzikir

Walau kau tindas aku sampai menganak air

Roda akan terus bergulir.

Kau Zenith dan aku Nadir,

Tak ada satu pun konstelasi tanpa kehendak illahi

Tak ada suatu fusi yang mampu menciptakan detak nadi

Namun semua itu tak ada arti bagi kaum penganut arogansi

Karena aku percaya suatu hari,

Dimana kau akan menyadari,

Istilah ‘harga diri’ itu mati.

Jika setumpuk asa tak mampu membuka batas-batas cakrawala,

Jika kekuatan raga tak sanggup menahan panasnya korona,

Jika mimpi tak mampu menggetarkan seisi Bimasakti,

Jika dengan akhir nafas tak dapat mengalahkan luminositas,

Aku punya do’a yang dapat menembus rongga-rongga nebula,

Kau Zenith dan aku Nadir, kita terpisah dalam lautan horizon yang berdesir.

Blitar, 4 Juli 2019