TM-NEC | Di Balik Sebuah Kisah – True Story
Oleh : Winda Maulidia
Hari ini sudah larut malam, tapi aku masih sibuk dengan tugas-tugas sekolah yang tak kunjung usai. Tak kuhiraukan jarum jam berputar dengan irama khas yang mengiringinya. Sekarang tepat pukul 00:00 hari sudah berganti. Kubiarkan alunan musik syahdu dari handphoneku berputar dengan secangkir teh yang sudah dingin di sampingnya, setidakmya ia menjadi teman di kala kesunyian ini. Tak lama kemudian tiba-tiba musik berhenti begitu saja. Karena rasa lelah yang begitu menghantamku untuk segera beristirahat, sampai-sampai aku tak menyadarinnya bahwa baterai handphoneku habis. Tapi aku masih terus melanjutkan tugas ini yang hampir selesai. Tak lama kemudian ibu memanggilku.
“Winda…Sudah malam, ayo cepat tidur. Apa kamu tidak mengantuk? Lihat,sudah jam berapa ini!”
“Sebentar Bu, ini sudah hampir selesai,” sahutku dengan nada lelah
“Dilanjutkan besok pagi aja nak, nanti bangunya kesiangan,” jawab ibu sembari menghampiriku diruang tengah.
Sontak aku menjawab “Iya bu,Siappp…”
Aku segera membereskan buku — bukuku dan bergegas menuju kamar dengan keadaan mata ang mulai redup.
Fajar telah menyingsing, sinar matahari pun cukup tinggi. Aku membuka mata, bangun, dan duduk sebentar sambil memainkan HP (rutinitas yang sulit hilang). Tanpa melihat jam di dinding maupun jam di HP, aku lupa kewajibanku untuk sholat subuh. Padahal tadi sebelum ibu pergi belanja ibu sudah membangunkanku, kujawab iya lalu aku tidur lagi. Dan aku baru teringat saat aku tak sengaja melihat ke arah jam dinding. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul 05:45 wib. Aku langsung menuju ke kamar mandi dengan langkah superku untuk mengambil air wudhu. Namun aku tetap sholat subuh walaupun kesiangan. Selesai sholat kira-kira pukul 05:55 aku mengambil handuk dan seragam. Ternyata oh ternyata seragamku masih dalam keadaan kusut ditambah rok yang belum terlalu kering, akibat kebiasaan burukku mencuci di malam hari kini terulang kembali.
Dengan terburu-buru aku langsung turun ke bawah,menyetrika seragam yang mau kupakai pada saat itu. Tak lama kemudian ibuku datang dengan membawa belanjaan sayurnya yang baru saja dibeli di depan rumah. Ibu terkejut melihatku yang belum juga mandi, padahal sudah jam 6 lebih. Sebelum ibu ngomel-ngomel aku langsung lari kekamar mandi, dengan membawa handuk dan seragam yang baru kusetrika (walaupun seragamku tak selicin lantai yang baru dipel).
Dengan langkah menghendap-hendap dan wajah tegang aku keluar dari kamar mandi menuju kamarku tanpa sepengetahuan ibu. Akhirnya semua persiapan telah usai. Tapi hal yang terpenting belum aku siapkan, aku lupa belum menata buku pelajaran hari ini di tas. Dengan sergap kutata buku pada saat itu. Saat ibu mau menuju ke dapur, ibu melihatku yang sedang kebingungan mencari mencari-cari buku. Lalu ibuku memarahiku atas kecerobohanku.
“Kenapa bukunya gak disiapkan dari kemarin malam?” tanya ibu dengan nada tinggi.
Jawabku dengan rasa takut “Kan kemarin sudah ngantuk sekali, saya lupa menata buku. Dan hari ini bangunnya juga kesiangan sekali Bu.., Kenapa ibu tadi tidak membangunkan ku?”
“La tadi kan sudah aku bangunkan, tadi sebelum aku belanja kamu sudah saya bangunin, kamu juga jawab iya. Eh ternyata aku pulang belanja kamu masih belum apa-apa. Tadi sholat subuh apa enggak hayoo? ” Tanya Ibu
“Ya sudah, tapi kesiangan” Jawabku dengan suara tipis-tipis sambil memasukkan buku ke tas.
Ibu terkejut sambil berkata “Kalau besok sholatnya masih saja kesiangan, minggu depan kamu tidur di rumah nenek saja biar ikut jama’ah subuh di masjid sama nenek.”
Jawabku dengan rasa takut “Kan kemarin sudah ngantuk sekali, saya lupa menata buku. Dan hari ini bangunnya juga kesiangan sekali Bu.., Kenapa ibu tadi tidak membangunkan ku?”
“La tadi kan sudah aku bangunkan, tadi sebelum aku belanja kamu sudah saya bangunin, kamu juga jawab iya. Eh ternyata aku pulang belanja kamu masih belum apa-apa. Tadi sholat subuh apa enggak hayoo? ” Tanya Ibu
“Ya sudah, tapi kesiangan” Jawabku dengan suara tipis-tipis sambil memasukkan buku ke tas.
Ibu terkejut sambil berkata “Kalau besok sholatnya masih saja kesiangan, minggu depan kamu tidur di rumah nenek saja biar ikut jama’ah subuh di masjid sama nenek.”
Aku pun terdiam seribu bahasa tanpa ada satu kata pun yang terlontarkan dari mulutku disertai dengan wajah murung dan mbatin.
Lalu ibu menyuruhku untuk segera berangkat sekolah. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 06:50 aku pun tergesa-gesa. Sambil menunggu kakak memanasi sepeda motornya aku memakai sepatu diselingi dengan sarapan pagi. Setelah itu aku pamit berangkat kepada orang tuaku. Di perjalan menuju sekolah, aku baru ingat tugas sekolah yang kemarin belum selesai. Dan hatiku berdeguk kencang, dan pikiranku terombang ambing tidak karuan. Dengan jalanan macet yang awalnya untuk sampai kesekolah butuh waktu 10 menit jadi 20 menit. Aku sudah memiliki feeling aku pasti telat lagi. Karena gerbang sekolah ditutup pukul 07:10, sedangkan aku berangkat dari rumah pukul 06:55 belum ditambah dengan kemacetan yang terjadi.
Pintu gerbang yang hampir ditutup pun sudah terlihat. Aku menyuruh kakakku menambah kecepatan motornya agar aku bisa mengejar gerbang yang hampir tertutup. Sesampainnya didepan gerbang ternyata pintu gerbang sudah ditutup rapat. Aku berdiri di depan pintu gerbang bersama beberapa teman yang juga telat. Kukira bentar lagi boleh masuk, ehh ternyata tidak diperbolehkan masuk sama tatibnya. Ya memang salah kita,karena berangkatnya kesiangan banget dan terlambatnya sudah gelombang ke-2. Lalu saya beserta teman-teman yang lain disuruh pulang oleh salah satu tim tatib, kami diizinkan untuk tidak memasuki kelas. Dan sekarang di depan pintu gerbang ini, aku terisak. Bagaimana tidak,nafasku terengah-engah mengikuti betapa cepatnya aku berlari. Namun langkahku sia-sia.
Dalam keadaan menangis aku duduk di fotokopi depan sekolah sambil menunggu izin dari tatib untuk masuk. Namun bebrapa temanku laki-laki yang juga telat mereka memilih untuk pulang. Tetapi aku dan 2 teman perempuanku lebih memilih untuk menunggu izin dari tatib. Kami bertiga memikirkan cara bagaimana kita bisa tetap masuk sekolah. Sementara itu aku tetap menangis tidak ada habisnya. Lama-kelamaan kami nekat untuk masuk ke sekolah. Saat suasana halaman sepi tidak ada guru maupun penjaga. Bola mata kita menuju kesetiap sedut halaman sekolah untuk memastikan keamanan disaat kami masuk. Dirasa aman kami langsung lari secepatnya untuk pergi ke kelas kita masing-masing.
Sesampainya di kelas hatiku tak tenang,aku masih melanjutkan nangisku yang belum puas tadi. Akhirnya aku berencana sama sekali tidak keluar kelas dan aku lebih memilih tidur di kelas untuk menghindari tim tatib. Namun,disaat ekspetasi tak sesuai realita aku pun tak berdaya. Saat pak Farhan mencari ku di kelas
“Pak Farhan Pak Farhan..” Kata teman-teman sambil ketakutan.
“Lohhh… haduu piyee iki rek..” Sambil jongkok di bawah meja.
Dengan santainya salah satu temanku yang bernama Wahyu bilang
“Ini pak Winda,” (sambil menunjuk kearahku)
Aku menepuk jidatku. Di saat ekspetasi tak sesuai realita aku pun tak berdaya.
“Ayo, ikut saya ke kator!” kata pak Farhan dengan nada tegas.
Aku hanya terdiam.
Saat pak Farhan sudah meninggalkan kelasku, aku menangis ketakutan. Aku takut, karena aku merasa sangat bersalah. 15 menit setelah pak Farhan meninggalkan kelas, aku tetap tidak berani ke kantor. Akhirnya beberapa temanku meyakinkanku untuk menghilangkan rasa takutku untuk ke kantor. Setelah hatiku lumayan tenang, aku menuju kekantor ditemani teman sebangkuku, Risma. Sesampainya aku di depan kantor, aku melihat 2 temanku yang juga telat tadi. Dia sepertinnya diintrogasi sama Pak Farhan selaku guru tatib pada hari itu. Tak lama kemudian mereka keluar.
“He Winda..tadi dicari Pak Farhan,” kata mereka
“Haduhh,,tadi didalam disuruh ngapain?,”
“Disuruh nulis dibuku poin win, mau nulis angka 5 rasanya berat sekali,” kata salah satu dari mereka berdua.
“Gak dimara i a?” Tanyaku
“Enggak, cuma ditanyai kok bisa masuk padahal kan tadi disuruh pulang,”
“Kira-kira jawab apa ya aku..” Lantas aku bertannya
“Jujur aja wes win, bilang kalau kita memang diam-diam masuk,” jawab mereka dengan kompak
“Iya, makasih, ya.”
“Sama-sama,” balas mereka
Hatiku mulai lega karena informasi dari temanku tadi. Tapi aku tetap tidak berani masuk karena pada saat itu aku masih dalam kondisi menangis akibat ketakutan. Tiba-tiba Pak Farhan keluar dari kantor berjalan menuju lantai 3 untuk mengajar. Namun,aku masih tetap di depan kantor menunggu Pak Farhan selesai mengajar. Disela-sela aku menunggu Pak Farhan di depan ruang bendahara, sambil terisak aku bercerita ke Risma penyebab aku telat.
Datanglah Bu Salamah dari ruang bendahara.
“Kenapa win kok nangis?” Tanya Bu Salmah kepadaku.
Namun aku tak dapat menjawab karena aku nangisnya semakin parah, hehehe.
Risma pun menceritakan ke Bu Salamah penyebabku telat tadi,
“Sudah — sudah,” kata Bu Salamah sambil mengelus kepalaku.
Sambil menagis aku berkata, “Aku takut kalau nanti dipindah sekolah bu, soalnya aku sudah berkali-kali telat. Kata pak Ali kalau saya telat lagi saya mau dipindahkan sekolahnya.”
“Pak Ali bilang seperti begitu untuk memberi semangat ke kamu agar kamu tidak telat lagi,” kata Bu Salamah.
Namun aku tetap gak percaya, aku menganggap serius omongan Pak Ali dulu waktu saya kelas XI. Banyak bapak ibu guru yang melihatku menangis saat itu, dan aku tak malu. Karena pada saat iu pikiranku hanya takut dipindahkan sekolah. Saking merdunya suara tangisku sampai-sampai salah satu bapak guru bilang kalau saya lagi kesurupan. Dan bapak guru tersebut menasehati saya.
“Ya ini buat pelajaran, kedepannya kamu harus berusaha berubah lebih baik. Masak mau terlambat terus? Gak malu sama adik kelasmu? “
Aku menjawab dengan suara tangisan “huhuhuhuhuhuhuhu”
Hampir 15 menit aku berdiri di depan ruang bendahara, Bu Salamah mengajakku masuk ke kantor. Namun aku masih tetap saja menangis,walaupun ibu-ibu guru dikantor melihatiku.Secangkir teh manis yang barusan diambilkan Risma ku minum. Jarum jam terus berputar,tapi Pak Farhan tak kunjung datang. Akhirnya aku kembali kekelas bersama Risma untuk mengikuti ulangannya Bu Salamah. Bel berbunyi waktu menandakan istirahat ke-2. Aku ditemani Risma bergegas menuju kantor kembali untu menemui Pak Farhan. Sesampainnya di kantor ternyata Pak Farhan belum juga ada. Aku tetap menunggunya. Tak butuh waktu lama,tiba-tiba Pak Farhan datang. Aku langsung menemuinnya dikantor,
“Ada apa, Pak Farhan?”
“Kamu Winda?”
“Iya Pak”
“Tadi gimana caranya kok bisa masuk ke sekolah?”
“Saat halaman sepi, saya dan teman-teman lari ke dalam pak. Penyebab saya telat bisa saya jelaskan kok, Pak”
“Gak perlu kasih alasan. Bagaimanapun alasannya judulnya tetap sama yaitu TERLAMBAT . Sekarang kamu tulis poin kamu dibuku ini “
Dengan berat hati saya pun harus menulisnya.
Dan ini bukan pertama kalinya aku telat sekolah, melainkan puluhan kali aku selalu seperti ini. Kejadian pahit itu tiba-tiba terlintas dipikiranku. Dimana untuk pertama kalinya aku merasakan hukuman. Saat masa putih abu-abuku baru dimulai. Dibawah teriknya matahari para siswa yang terlambat berbaris dengan rapi sambil menunggu tim tatib datang. Tibalah tim tatib dihadapan kami dan memberi nasehat. Di waktu yang bersamaan datang dari arah kantor,keluarlah seorang laki-laki selaku TU di sekolah ini yang berpostur tinggi berjalan kearah gerbang. Dia tak lain adalah kakak sepupuku yang bernama Pak Ahmad. Dan saat berada depan digerbang terlihat salah satu tim tatib yang berdiri disana.
“Pak mau kemana?” Tanya pak Ali sambil menjabat tangan Pak Ahmad.
“Saya mau ke kantor yayasan pak,Oh iya tadi saat saya kearah sini saya melihat seorang murid yang memakai tas warna merah yang sedang berdiri dibaris sebelah utara dia keponakan saya pak.” Sahut Pak Ahmad.
“Oh yang itu ya pak ya..ya..ya..” Kata Pak Ali.
“YA sudah pak sya permisi dulu.” Sahut Pak Ahmad sekali lagi.
Sejak kejadian itulah guru-guru kemudian mengenalku terutama dibagian tim tatib.
Ketika aku memasuki tahun kedua ku disekolah ini. Kebiasanku yang kurang bai tersebut sulit dihilangkan,dimana aku sering terlambat menuju sekolah. Saat itu aku terlambat lagi dan sanksi yang kuterima semakin berat. Sampai-sampai aku dipanggil kekantor dan diberi surat penyataan yang didalmnya tertera sanksi apabila melanggarnya lagi maka diperkenankan untuk megundurkan diri darisekolah. Pada saat itu tim tatibnya Pak Ali dan Pak Nur. Saat Pak Ali melihatku terlambat untuk kebeberapa kalinnya,Pak Ali meminta Pak Nur Untuk memberiku surat pernyataan. Pak Ali bilang kepadakau bahwasannya apabila saya telat sekali lagi saya akan dipindahkan ke salah satu sekolah swasta yang tidak jauh dari Madrasah Aliyah ini.
Aku pun mengikuti langkah Pak Nur menuju kantor untuk mengambilkan surat pernyatannya.
“Tolong isi surat pernyatan ini, apabila kamu melanggarnya lagi maka sanksi yang ada disurat ini akan berlaku,” ucap Pak Nur sambil menyerahkan surat tersebut kepadaku. Dengan berat hati aku menerima surat itu dan mulai mengisi durat tersebut. Tak terasa air mata mengalir deras di pipiku. Lalu aku disuruh membeli materai 6000 untuk ditempelkan di surat itu dan meminta tanda tangan Kepala Sekolah, Wali Kelas, dan Orangtua/Wali saya. Pak Nur menyuruhku menemui Bu Ifa (istri Pak Ahmad) selaku wali saya di sekolah untuk bertanda tangan di atas materai tersebut. Namun Bu Ifa tidak mau, karena apabila Bu Ifa yang bertandatangan nanti orangtua saya tidak mengetahui bahwasannya saya sering telat. Selain dihadapkan Bu Ifa, Pak Nur memanggil wali kelasku, Bu Nurul. Setelah Bu Nurul datang saya meminta tanda tangan ke Bu Nurul dan masih dalam keadaan menangis. Setelah aku mendapat tanda tangan Bu Nurul, aku kembali ke kelas.
Sepulang sekolah aku tak memberikan surat itu ke orang tuaku. Karena aku tau, orangtuaku pasti marah besar kepadaku. Lalu aku bertekad dalam hatiku bahwa aku harus berubah, aku gak boleh seperti ini terus-terusan. Dan disitulah aku mengawali hariku yang baru. Dengan mengubah kebiasaan burukku menjadi lebih baik. Salah satunya, datang lebih awal dibanding teman-teman yang biasanya langganan datang pagi.
Di suatu hari aku pergi ke kantin dan pada saat itu juga aku bertemu dengan Pak Nur
“Eh, Winda!” Sapa Pak Nur
“Enggeh Pak,” jawabku dengan ketakutan
“Mana surat pernyataannya? Sudah dikumpulkan?” Sahut Pak Nur
“Itu Pak, suratnya ketinggalan dirumah,tinggal tanda tanga kepala sekolah saja, Pak.” Jawabku sambil mencari alasan.
“Besok harus dikumpulkan ya” Jawab Pak Nur dengan tegas.
“Enggeh Pak, insyaAllah.” Jawabku dengan suara lirih.
Sepulang sekolah aku bergegas mencari surat tersebut yang entah kuletakkan dimana, mungkin terselip di tumpukan beberapa buku yang ada dimeja belajarku. Setelah sekian lama aku mencarinnya kutemuan surat tersebut, ternyata ada di laci meja belajarku. Sembari aku menunggu Ibu datang, aku terus menerus melihat surat itu. Dan saat itu air mataku mulai jatuh. Aku memberanikan untuk menyerahkan surat tersebut ke orang tuaku. Ternyata dugaanku salah, orangtuaku tidak memarahiku melainkan menasehatiku. Dan hatiku terasa sangat legah.
Sejak saat itulah aku takut saat bertemu pak Nur. Takut Pak Nur menanyakan kembali surat tersebut. Jangankan bertemu, mendengar namanya pun aku takut (wkwkwk alay :v). Karena aku berniat untuk tidak memberikan surat pernyatannya ke Pak Nur. Dan lama kelamaan Pak Nur lupa dengan surat tersebut. Akhirnya aku biasa saja saat bertemu dengan Pak Nur, karna Pak Nur sudah lupa surat pernyataan yang seharusnya dikumpukan heuheuheuheu..
Dari pengalaman tersebut aku tersadar bahwa aku memang harus berubah.