20.40 WIB saksi yang terbungkam dalam rintik hujan. Sepi yang merasai dibalik keramaian manusia yang lalu lalang hendak pulang dalam gelapnya malam dengan kereta yang akan melaju kencang. Aku terduduk diantara sekat gerbong yang berguncang. Menatap layar ponsel mati yang lama kupegang. Mataku terpejam.
“Aku ingin Tuhan mengambil sebagian ingatanku lima bulan ini”
“Mengapa? Apakah ada sesuatu?”
“Banyak. Aku hanya ingin kembali pada titik awal pijakan dan komitmenku. Mm…Apakah aku seorang manusia yang aneh?”
“Secara psikologis, tidak ada yang dinamakan manusia aneh. Sedangkan secara filosofis, semua manusia itu aneh. Jika kita tarik logis empirisnya, semua manusia itu aneh sehingga tidak ada yang dianggap aneh. Cukup paham?”
“Paham. Aku hanya bingung dengan mereka. Mereka itu rumit.”
“Rumit bagaimana?”
“Terkadang aku bingung harus berbuat apa. Diam memberikanku ketenangan meski pada akhirnya tak ada sebuah kenangan yang ditinggalkan. Sedangkan ketika aku mencoba membangun kebahagiaan dengan bangkit dari diam, aku memberikan ribuan kekecewaan dan cela tak kunjung redam”
“Mereka tidak rumit tapi kau yang membuat rumit. Apakah kau hidup untuk orang lain?”
“Tentu saja tidak.”
Aku tersadar ketika seorang pria paruh baya dengan memakai topi dan kacamatanya yang membuat ia tampak seorang berwibawa menepuk pundakku. Ia menarik lenganku untuk duduk di kursi kosong sebelahnya.
“Tidurlah, Nak. Saya tau kamu sangat kelelahan”, kata pria paruh baya itu seraya memakai masker.
“Terima kasih banyak, Pak. Anda sangat baik sekali”
“Anaknya, Pak?”, tanya seorang laki-laki yang duduk di bangku seberang.
“Iya, anakku yang kutemukan disana. Hehe”, katanya sambil tersenyum.
***
Aku kembali memejamkan mata meski malam yang dingin disertai gerimis di luar jendela kereta tidak membuatku untuk terbenam dalam lautan impian. Kecamuk kegelisahan dan tetesan air mata mewarnai setiap perjalanan. Aku melanjutkan dialektika antara aku dengan diriku. Bercakap dalam sendu…
“Lalu, kenapa kau selalu memikirkan apa yang dipikirkan orang lain kepadamu?”
“Aku hanya ingin memperbaiki diri berdasarkan pandangan mereka”
“Kenapa harus berdasarkan pandangan mereka? Lagipula, setauku 90 persen kau seorang apatis”
“Tapi aku juga seorang altruis dan melankolis!”
“Lalu? Apakah seorang altruis dan melankolis mesti maju hanya dari pandangan orang?”
“Tidak… Aku tau, tapi aku ragu. Aku ragu dalam segala hal. Aku ragu untuk bicara, aku ragu dalam mengeluarkan pertanyaan, aku ragu dalam sebuah jawaban, aku ragu melangkah dalam lika-liku kehidupan, dan aku ragu untuk maju ke depan. Keraguanku selama ini yang membuatku semakin jauh dari ambang yang aku targetkan dan semakin jauh dari ketajaman intuisi yang kugunakan sebagai pembenaran. Setelah aku mencoba menghapus keraguan itu dan aku mulai memberikan kepercayaan kepada seseorang, entah kenapa baru aku tau menyakitkannya kekecawaan. Aku kembali menjadi peragu karena aku terlalu percaya sehingga aku merasakan bagaimana itu kecewa.”
“Dan kau sendiri yang merobohkan kepercayaan itu. Kurasa, kau tidak hanya seorang apatis, altruis dan melankolis. Namun kau juga seorang skeptis. ”
“Mungkin seperti itu”
“Kau pernah dengar hukum relativisme Protagoras dalam doktrin ‘homo mensura-nya’?”
“Kurasa belum”
“Bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Merupakan usaha untuk membatasi semua pernyataan kepada orang yang membuatnya. Sebagaimana apa yang terasa enak bagi seseorang tidak tentu enak bagi yang lain. Demikian juga mengenai apa yang benar bagi seseorang tidak tentu benar bagi yang lain. Keraguanmu itu merupakan penyangkalan diri dan secara harfiah telah terbukti sepenuhnya absurd.”
“Benar sekali. Aku memang tidak dapat mencapai kebenaran objektif, yaitu pertimbanganku. Tapi, mungkin dengan keraguan itu aku akan lebih berhati-hati.”
Gerimis dan tangis di malam yang semakin pekat dalam kabut metastasis. Ini adalah kehidupan yang penuh alegoris. Intuisi yang merasai, afeksi yang menggerogoti, filantropi yang menyelimuti. Aku, bagai simalakama dalam dilemma yang tak mengerti dunia manusia.
“Seorang skeptis pasti tau bahwa pertanyaan kritis tidak dapat diajukan secara konsisten dan realisme adalah suatu pengandaian pemikiran yang bersifat absolut. Mulai saat ini, lakukan apa yang kau anggap benar. Jika kau terus berada di lingkaran kediamanmu dan hanya akan bergerak jika ada orang yang menggerakkanmu, kau hanya akan jatuh. Cukup sampai disini kau ditindas. Hentikan kepolosan bodohmu selama ini! Ini adalah awal dari akhir! Kalau kau ingin maju, jangan kau tengok belakang. Tapi, hadapi apa yang ada di depan tanpa kau sia-siakan secuil pun kesempatan. Untuk kedua kalinya, kau akan kembali dilahirkan dengan tekad yang tak kunjung padam, dengan harapan tanpa keraguan, dengan penerimaan segala kekecewaan, dengan perubahan dan perbedaan. Kereta ini akan menjadi legenda dan saksi dari kelahiran seorang perintis jalan kemenangan yang akan kau torehkan.”
Karya : Asfira Zakiatun Nisa’