Malam yang mencekam,
seakan dunia telah berubah arah dari sebelumnya. Kini
malam gelap yang tak lagi terasa dingin,
malam justru terasa begitu panas. Malam tidak lagi gelap dengan ditemani oleh sinar
purnama yang dikelilingi beribu-ribu bintang, melainkan malam cukup terang
bagaikan siang yang dipenuhi dengan cahaya kehangatan. Itulah duniaku, dunia yang kini kau berada di sana.
Dunia yang memunculkan sisi berbeda dari masa sebelumnya. Dunia modern yang
sangat kau bangga-banggakan.
Canggih.
Mungkin untuk saat ini dan nanti, kata tersebut adalah kata yang paling
sesuai dengan kondisi kehidupan yang kita jalani saat ini. Ya, kita berada di generasi yang
dengan berjuta-juta teknologi. Kami mengatakan bahwa diri
kami adalah generasi milenial. Generasi
yang kaya pengetahuan akan semua kecanggihan sebuah teknologi.
Remang-remang
mataku mulai terbuka. Aku mulai menatap semua yang ada disekelilingku. Begitu
sejuk nan indah. Rindang dengan penuh pepohonan , udara yang terasa yang
menyejukkan badan, semilir angin malam yang masih mampu membelai lembut kulitku
hingga menyusup masuk bagai pencuri ke dalam pori-pori.
Aku adalah seorang wanita paruh baya dengan
rambut panjang terurai yang melambai-lambai dan terombang-ambing dipermainkan
oleh siliran angina malam. Mataku sayu, dengan tubuh kurus dan tinggi yang
sesuai dan proposional. Aku sedikit menggigil merasakan dingin yang
menggetarkan kaki dan tanganku. Aku menarik kedua tanganku ke depan dan mulai
terduduk dari tidurku.
Kini aku mulai
sepenuhnya tersadar dari tidurku, aku mulai membuka mataku. Mengumpulkan
semangat dalam diriku agar aku terbangun dan memulai perjalanan baru menyusuri
lika-liku dunia yang penuh dengan misteri. Butuh energi yang kuat dalam bagiku untuk
memahami dunia yang tak kumengerti.
Aku tak mengingat
apapun, yang aku ingat hanyalah ketika terakhir kali aku berada di depan sebuah
mesin besar yang sangat luas. Kemudian aku mulai menekan salah satu tombol terbesar berwarna
merah dari puluhan tombol yang disediakan, aku menekannya dengan
penuh keyakinan dan kesadaran. Kemudian entah apa yang terjadi,
aku tak mengingat apapun. Saat ini, aku berada di sebuah tempat asing yang tak aku ketahui dimana kah
sebenarnya diriku. Memang ada banyak orang di sekitarku, tapi aku tak
mengenalnya sama sekali, mereka sangat asing. Bahkan dimana aku? Tempat manakah
ini? Pertanyaan ini
seakan menggoyahkan hatiku untuk lebih. Aku ingin menelusurimu lebih dalam.
Lagi-lagi, banyak orang yang ada disini, mereka
berpenampilan sederhana sama sepertiku. Mereka duduk beramai-ramai dibawah
pohon beringin rindang yang ditemani sebuah obor kecil diatasnya. Terasa sangat
seru dan menyenangkan, namun aku tak tertarik pada mereka. Meski terlihat
ramah. Aku lebih tertarik mengelingingi alam yang rindang dan sangat
menakjubkan.
Hingga aku mulai
berdiri di atas dua kakiku. Kupandadangi dengan mata telanjang apa yang ada
disekelilingku, sungguh menentramkan jiwaku. Mungkin kalian akan merasakan hal yang
indah, jika kalian juga berada disini bersamaku. Bahkan ribuan kata indah takkan
mampu mendefinisikan betapa indahnya dunia saat ini di depan mata kalian. Bibir
kalian akan selalu menebarkan sebuah senyum meski tak bercanda dengan siapapun.
Mata kalian akan terpejam sejenak sembari merasakan aliran udara yang merambat pelan
melewati aliran darah dalam tubuh kerimping kalian. tak kan bosan kelima indera
ini menikmati indahnya udara disekeliling kalian yang
menebarkan aroma kelembutan alam yang indah. Mata kalian akan tetap bisa
merasakan indahnya dunia walau terpejam sekalipun.
Akupun mulai
berjalan mengelilingi rerimbunan pepohonan seorang diri. Kemudian mataku terpaku pada sebuah
gerbang yang besar dan menjulang tinggi. Aku menengadahkan kepalaku menatap
ujung pintu yang seakan hendak menyentuh langit. Bagaikan akan menyibak awan menembus langit tak terbatas.
“Waw”. Itulah
satu-satunya kata yang keluar dari mulutku ketika aku terkesima memandangi
pintu besi nan gagah yang ada
dihadapanku. Aku berada sekitar jarak 3 meter dari gerbang yang rapat tertutup.
Ketika kaki ini mulai melangkah satu dengan kaki kananku, terdengar sebuah gerakan yang
membuatku terkejut. Suara yang berasal dari gerbang besi berwarna gelap itu.
“Grek…..grek……..grek………..”. Belahan dari
pintu gerbang mulai terbuka. Aku mengerutkan kedua dahiku. Bagaimana hal itu terjadi?
Tak ada seorangpun yang berdiri di sekitar pintu , hanya ada aku
seorang. Aku yang masih
beru pertama kali melihatnya. Tak mungkin aku dapat
mendorongnya bahkan menyentuhnya saja jemari kecilku ini tak kan sampai. Sekali lagi dengan berani
aku melangkah dengan kaki kiriku. Dan benar saja,
pintu tersebut muali terbuka lagi lebih lebar disertai suara berisik.
“Halooo……….”. Suaraku
terdengar lemah memanggil entah siapa. Hanya ingin lebih tahu apakah ada orang
mendengarku. Adakah orang di balik gerbang pemisah tersebut. Bagiku mustahil jika sebuah pintu
gagah nan besar dapat dibuka hanya dengan satu orang saja. Namun semua tetap
saja sunyi membisu, tak ku dengar suara apapun dari
balik pintu tersebut.
Hanya suara jangkrik yang memecah keheningan malam.
“Permisi, adakah
seseorang di dalam?”. Tetap saja tak ada jawaban yang menjawab rasa penasaranku. Kemudian aku
terus melangkah dengan terpaku pada satu titik. Gerbang besi ditengah-tengah hutan. Semakin aku mendekat semakin gerbang terbuka dengan lebarnya.
Ketika aku berada sejajar menyamai letak gerbang tersebut, tak ada seorang
pun yang kutemukan di balik pintu.
Aku pun menatap
kedepan. Sungguh mataku kini terbelalak lebar-lebar. Tubuhku menjadi kaku. Aku
mulai berusaha memahami apa yang ada sekitarku. Penasaranku kini berada pada
titik teratas. Tanganku
yang semula merasa kedinginan, kini mulai mencair, bingung kemarut menyelimuti
pikiranku. Aku merasakan atmosfer lain di tempat yang ditutupi sebuah gerbang
mewah dan megah.
Tempat ini sungguh
berbeda, jika di tempat sebelumnya, aku menatap gelapnya malam dengan ribuan
bintang yang menyebar menawarkan cinta pada sang rembulan, gelap namun indah,
disini sungguh berbeda. Jika sebelumnya kutemui api kecil diatas obor
yang menyala lemah sebagai penunjuk arah dan pencahayaan yang terikat kuat
dibatang pohon besar
dengan sebuah tali jerami rapuh. Yang dibawahnya
menadi tempat naungan rerumputan hijau ketika malam telah datang, disini tidak. Jika
sebelumnya dinginnya angin malam adalah selimut yang membelai tubuhku dengan penuh
kealamian dan mengibarkan
rambut panjangku, disini tidak.
Dunia terasa sangat
berbeda disini, inilah sisi lain dunia, bagai dua mata pisau yang berbeda arah.
Cukup lama aku berdiri disini. Tak bosan aku menatap sekitar. Heran, lagi-lagi
heran. Tak kutemukan pohon disini, udara begitu sangat panas dan tidak
menyejukkan tubuhku. Tak ada udara dingin. Tak ada api kecil sebagai penghangatnnya.
Aku menengadahkan
kepalaku keatas menatap diantara dua buah bangunan yang menjulang tinggi
kelangit biru. Walaupun malam, bukan bintang yang aku temukan disini. Bahkan
bulan pun bagai kan hilang cahayanya. Hingga malam terasa bagaikan siang karena terangnya. Bukan lagi obor yang terikat pada batang pohon sebagai penerang,
melainkan lampu-lampu elektronik yang terpaku disepanjang jalan dengan penuh
warna-warni pelangi yang memanjakan mata . Namun suatu kesedihan kini
mulai menyelimutiku, tak ada lagi pohon besar yang tertanam disini. Tak ada kata hijau untuk
menggambarkan tempat seluas ini.
Kulihat dari arah
kananku, sebuah pabrik mewah menyemburkan gumpalan awan hitam dari sebuah
cerobong asap kuno yang panas ke atas langit biru seakan hendak menjadikannya
kelabu. Sungguh aku sangat benci melihatnya.
Aku berjalan
diantara dua gedung mewah nan indah dan menantang langit. Aku terpesona pada
dinding gedung tersebut. Setiap mata
mampu menembus dinding memata-matai apa yang terjadi dalam gedung hanya dengan
pandangan mata. Aku menatap dindingnya yang bersih dan terbuat dari kaca.
Indah. Aku ingin berada di dalam sana. Mereka juga mampu melihat kami, para pejalan
kaki trotoar yang sedang memperhatikannya. Mereka menikmati kopi pahit dan
saling bercengkerama bersama sambil menatap dunia luar yang begitu luas. Kehidupan
generasi milenial.
Sebuah robot kecil memanjat dinding teratas di
luar kaca. Robot-robot yang menggantikan manusia sebagai pembersih kaca. Dengan
tangan berkabelnya, ia menjalar ke sudut-sudut dinding kaca. Tanpa kepala,
tanpa mata, tapi mereka, para robot milenial adalah pembersih gedung kaca
hingga menjadi mengkilap seperti sekarang ini.
Tak banyak orang
yang berlalu lalang , hanya beberapa kaki yang dapat kuhitung sedang berjalan
diatas trotoar. Terlalu banyak kendaraan roda empat dengan body mengkilap
hingga menyilaukan mata. Memenuhi jalan hampir tanpa sekat. Jalanan yang macet
dan berasap hitam kendaraan yang berbau tak sedap. Mungkin adalah
hal biasa bagi keadaan sekitar, tapi indra penciumanku hendak memberontak dengan keadaan itu namun tak
bisa.
Tiba-tiba sebuah
mobil mewah berhenti di hadapanku. Aku terdiam sejenak. Kupandangi mobil yang
mewah dengan kaca gelap
nan elegan. Inilah zaman teknologi yang berkembang dengan
begitu pesat dari ilmu pengetahuan. Tak lama, padamlah cahaya lampu dari mobil
silver disertai dengan terpakunya keempat roda hitamnya pada aspal jalanan yang terdiam. Tidak ada lagi suara mesin yang mendengung. Pintu mobil terbuka keatas
bagaikan tirai yang disibakkan. Sungguh indah. Aku, sebagai orang yang
pertama kali melihatnya berdecak kagum dan tersenyum, meskipun
orang-orang hanya acuh tak acuh terhadap hal tersebut.
Keluarlah sepatu
hitam dengan
kilauannya, kemudian disusul dengan tubuh yang
atletis dan gagah dibalut dengan jas biru tua yang sangat cocok dikenakan pria
separuh baya tersebut. Dilihat dari panampilannya, ia bukanlah orang dari
kalangan rakyat biasa, melainkan dari kalangan atas yang namanya terkenal
hingga kepelosok negeri. Aku melihatnya berjalan dengan gagah menuju ke gedung
yang membuatku terpesona sebelumnya. Tampan dan rapi, ‘mungkin dia adalah
pemilik perusahaan yang mewah,’ batinku. Entah sombong atau gagah, tapi cara
berjalan seperti itu memanglah hanya ada di kalangan orang-orang ternama. Semua orang begitu menghormatinya.
Aku masih berlanjut
menyusuri keramaian jalan kota. Kota yang sangat berisik, namun aku merasa
sangat kesepian. Aku belum merasa begitu kelelahan hingga aku terus melangkah
menyusuri pinggiran kota. Semua orang terlihat menunduk ketika mereka berjalan,
dengan sebuah benda yang disebut dengan gadget digenggamannya. Seakan mereka
telah hafal benar dengan seluk beluk jalan yang mereka lalui, hingga mereka berjalan tanpa
memperhatikan apa yang mereka lalui. Mereka hanya terfokus pada sebuah benda
yang pas digenggaman mereka. Hatiku sangat miris melihat
hal tersebut.
Sambil
menggelengkan kepala, aku berjalan dan melihat sebuah mesin kotak yang
banyak terdapat makanan dan minuman. Seketika, aku menjadi merasa kehausan dan ingin
meneguk sebuah minuman dingin yang segar. Aku pun mulai mendekatinya dan
bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku bisa mendapatkan sebuah minuman dari dalam. Sedangkan tak ada gagang pintu untuk
aku membukanya. Aku masih memandanginya dengan diam. Tiba-tiba sebuah sepatu
terdengar mendekat kearahku.
“Kamu mau yang
soda kah?”. Seseorang tiba-tiba menghampiriku dan bertanya menawarkan
sesuatu sambil menunjuk pada sebuah botol minuman dibalik kaca lemari es. Aku
tercengang dan menatap
wajah pria tersebut, lagi-lagi ia mengenakan jas, tampak keren.
Namun ia adalah orang berbeda dengan pria yang keluar dari mobil mewah di depan
gedung. Kemudian aku hanya mengangguk mengiyakan
perkataannya tanpa berpikir panjang.
“Okee. Tunggu
sebentar ya”. Katanya sambil merogoh saku celana lalu mengeluarkan sebuah dua koin emas yang
dimasukkkan satu
persatu pada salah satu sisi mesin tersebut kemudian
keluarlah dua minuman yang sama di bawah kotak mesin tersebut.
“Ini, ambil saja”. Ia tersenyum
sambil menyodorkan salah satu botol minumannya yang baru saja diambilnya dari
mesin tersebut.
“Terimakasih”. Aku berkata
sambil malu-malu. Aku pun terdiam dan menerimanya. Kupeganginya minuman
tersebut, telapak
tanganku kembali terasa sangat dingin dan membuatku ingin
segera meminumnya
membayangkan betapa segarnya minuman di genggamanku.
“Oh ya, kamu
siapa?. Perkenalkan namaku Arga, aku bekerja di perusahaan di gedung deket sini”. Tanyanya
sambil menunujukkan padaku dengan jari telunjuknya sebuah gedung besar yang
aku temui sebelumnya.
Aku pun menatap kearah jari tersebut diarahkan.
“Aku Dara. Salam
kenal juga”. Aku menjawab pertanyaannya dengan nada lembut dan menyembunyikan sebuah
nada malu.
“Hmm kamu dari
mana? Kamu bekerja di sekitar sini juga kah? Penampilanmu sangat berbeda, terlihat sederhana,
sepertinya kamu orang baru di sini”
Tanyanya seakan ia mulai penasaran denganku. Ia mulai mencurigaiku. Aku
memang berpakaiann sangat sederhana, tidak seperti apa yang dikenakan di
sekitarku. Mereka mengenakan pakaian ber-merk dan sangat mewah nan
elegan. Sedangkan aku hanya berpakaian seadanya..
“Aku tidak tahu.
Aku hanya penasaran dengan keadaan di sekitar sini. Mengapa tempat ini begitu
berbeda dengan tempat di sekitarku. Aku sangat penasaran, bahkan aku pun lupa
bagaimana aku bisa berada di sini”. Aku sedikit merasa sedikit kebingungan ketika ia
menanyakan asal tempat tinggalku, di tempatku, aku tidak pernah
menjumpai gedung bertingkat sepertii tadi, yang aku tahu di tempatku hanya ada lahan luas yang selalu dipenuhi oleh pepohonan yang indah dan rindang yang menyejukkan
setiap mata yang memandangnya.
“Oh ya Dara,
baiklah, apa yang membuatmu penasaran, aku ada sedikit waktu disini, mungkin
aku bisa sedikit membantumu. Lagi pula aku sudah sangat akrab dengan alam dan
keadaan yang ada di sini. Tadinya aku ingin pergi keluar mencari udara segar, karena merasa
stress didalam kantor yang membosankan. Dan yahh, aku berpikir bagaimana aku bisa
berjalan-jalan.” Ia mulai membuka pembicaraan seakan-akan sudah sangat akrab
denganku. Aku pun mulai menceritakan apa yang aku alami dari awal dan bisa
sampai sekarang.
“Tempat ini sangat
asing bagiku, begitu panas meski malam hari, dan berbeda jauh dengan tempat
tinggalku sebelumnya. Bangunan ini begitu megah dan mewah. Sungguh menakjubkan,
semua adalah hal baru bagai berada di generasi yang lain”. Aku sudah
mulai bisa terbuka pemikiran dengannya.
“Aku rasa kamu
datang dari dimensi lain , kamu telah melewati mesin waktu dari masa lampau
menuju masa sekarang, mungkin pada masa kamu, gedung dan bangunan yang
menjulang tinggi yang gagah ini belum ada. Semua saat ini telah canggih berkat
kemajuan teknologi dan ilmu sains. Ini semua mulai dibangun pada masa milenial”. Arga begitu
teliti dan mulai membuka pemikiranku hingga sebagian pertanyaanku yang selama ini aku simpan mulai terjawab. Aku
hanya mendengarkannya berbicara dan memahaminya.
“Pada masa ini,
semua serba robot Dara, bahkan sumber daya manusia hampir punah dan mulai tidak
diperhatikan lagi, semua telah digantikan oleh mesin dan robot yang membantu
meringankan tenaga manusia. Namun mereka lebih dari itu, mereka telah menghapuskan
tenaga kerja manusia, makanya pada zaman sekarang mulai banyak pengangguran,
manusia hanya mementingkan gadget Dara, mereka berjalan namun tidak melihat
jalan, mereka melihat gadget. Mereka berbicara bukan dengan mulut Dara,
melainkan dengan bahasa tulisan yang ada didalam aplikasi sebuah gadget”
“Dara, mungkin
semua ada dampak baik dan dampak buruknya, namun ketika mereka berbicara dengan
lawan bicara,mereka lebih tertarik untuk memerhatikan gadgetnya daripada lawan
bicaranya. Aku semakin bosan dengan kehidupan di kantor yang seperti itu,
mereka berbicara denganku namun tak menatapku, mereka seakan berbicara lewat
gadget.” Arga berhenti sejenak sambil menghembuskan nafas dalam-dalam seakan membuktikan rasa
kekesalannya pada kehidupannya yang tentu ada baik dan buruknya. Aku masih
bertanya-tanya padanya dan kami memutuskan untuk berbicara sambil duduk di
sebuah bangku kecil
terbuat dari kayu dibawah lampu jalanan yang remang-remang
cahayanya, namun sangat indah.
“Arga bagaimana di
sini begitu panas, mengapa aku tak dapat menjumpai pepohonan yang sangat
rindang dan cukup luas di sini, semua telah dipenuhi oleh bangunan
berpuluh-puluh lantai yang menjulang tinggi ke atas hampir menabrak langit?”
aku bertanya pada Arga bagaimana bisa hutan tak kutemukan.
“Kemarilah Dara,
ikutlah denganku”. Arga bangun dari duduknya dan menarik lenganku entah akan menuju kemana
ia membawaku. Aku terperanjat dan hanya mengikuti langkahnya dari belakang. Ia masih
menggenggam tanganku. Diajaknya aku menyusuri jalan yang jauh dari tempat ku
duduk bersamanya.
Hingga aku terdiam
melihat semua pemandangan ini. Ia melepaskan genggaman tangannya dan menatapku
agar ia bisa melihat bagaimana ekspresi wajahku. Tentu saja aku sangat
terkejut, air mata ku kini, setetes demi setetes mulai turun membasahi pipiku.
Aku mengusap air mata yang keluar membasahi pipiku dan menatap Arga yang juga menatapku.
Tahukah kalian apa
yang aku lihat di sini? Sebuah pemandangan yang menyesakkan mata. Asap hitam
menggumpal dimana-mana. Mentup jarak pandang kita semua. Lebih panas dari tempat
sebelumnya. Kabut hitam beterbangan menutup semua kawasan di wilayah ini.
“Dara, ini adalah
hutan kami yang dahulu yang sangat rindang dan segar. Mereka telah membakar
hutan kesayangan kami. Bukan manusia yang tak berpendidikan yang membakarnya,
justru manusia dengan jas
berdasilah yang telah melakukan semua ini, mereka sangat
gagah di dalam dengan mengenakan jas hitam dan bersepatu mengkilap, mengendarai
sebuah mobil mewah berjuta-juta harganya. Mereka telah merampas hak kami,
demi apa Dara? Kau tahu? Demi sebuah
bangunan bertingkat dari kaca yang indah dan canggih tadi katanya.” Ia mulai
melampiaskan kekesalannya. Air mataku masih saja jatuh setelah mendengar
kata-katanya. Bahkan terasa lebih miris ketika manusia berdasilah yang
memerintahkannya.
“Kau lihat Dara,
semua makhluk dan hutan ini kini telah hampir semuanya meninggal disini,
bersama lenyapnya pepohonan mereka juga akan ikut memunah dan musnah. Mereka
menghembuskan nafas mereka disini.” Kekesalannya Arga terlihat mulai meninggi.
“Arga, ibu itu, dan
anak-anaknya” aku menunjuk pada seorang ibu dan seorang anak yang berusia
sekitar 8 tahun, ia menangis dan mereka dibantu dengan oksigen, alat bantu pernafasan, agar mereka
tetap sehat. Aku mulai menangis, dan membayangkan bagaiamana dunia saat ini,
kemajuan yang baik justru menimbulkan masalah yang serius bagi masyarakat yang
ada di daerah sekitarnya.
“Iya, mereka
terkena asma Dara, bahkan
lebih parah. Itu akibat kebakaran hutan yang ada disini. Itulah salah satu dampaknya
dan yang sekarang terjadi masa kini Dara.”
Belum selesai Arga
menjelaskan semuanya tibalah sebuah benda yang sama di sampingku. Benda yang
entah dari mana asalnya, namun benda itu ada ketika aku menghadap ke samping kanan. Aku
terkejut. Benda itu adalah benda yang sama persis dengan
benda yang aku tekan-tekan ketika aku hendak memasuki arena ini, sebelum aku lupa dimana aku
sekarang. Aku menatap kebelakang dan melihat Arga. Arga menatapku dan
melambaikan tangannya. Aku menjadi mengerti dengan semua ini, aku berada di
depan mesin waktu yang akan membawaku ke masa lalu yang masih belum banyak
teknologi, dunia yang masih segar alami yang masih banyak ditumbuhi dengan
pepohonan yang rindang. Duniaku
yang sebenarnya.
Aku melambaikan
tangan pada Arga juga, sebagai
tanda perpisahan bahwa waktuku untuk menjelajahi masa
depan telah berakhir, meski masih banyak pertanyaan yang ingin aku ketahui
darinya, namun hal itu harus sekali lagi aku urungkan, atau aku takkan pernah
kembali ke masa sebelumnya. Kami
tersenyum sebentar, saling mengucapkan kata terimakasih dalam hati atas
pertemuan singkat yang sangat membuatku haru dan kagum seperti saat
ini. Terimakasih kawan, telah menyempatkan waktumu membantu ku memahami masa
milenialmu, masa penuh dengan gadget dalam otak dan pikiran manusia, masa dimana manusia tak lagi
diperlukan dalam tenaag kerjanya karena telah tergusur oleh robot-robot
milenial, masa perkembangan sains dan teknologi berkembang
pesat dan mempengaruhi keadaan alam sekitar.
Aku kembali menatap
mesin besar dihadapanku. Aku meletakkan jari telunjuk tanganku di atas tombol
merah. Aku memejamkan mataku dan menekannya kuat-kuat. Aku menghilang
meninggalkan Arga sendirian yang di sana ia melihatku menghilang terbawa oleh
mesin waktu. Sampai jumpa kawan.
Ketika aku tersadar aku sudah dikelillingi di sekitar pepohonan rimbun. Banyak orang yang masih memetik teh dan bercengkrama sambal tertawa ria. Tidak ada gedung pencakar langit. Hanya rumah sederhana yang penuh kenyamanan dan kesejukan alam.
Karya : Iffa Abdillah Kinasih