All posts by Faizal Chandra

10Sep/21

Tim Mahasiswa Tadris Matematika UIN Malang Raih Juara 1 LKTI Nasional Mathematics Paper Competition (MaPCom) 2021

Sumber : Dokumen Pribadi

Dalam pembelajaran jarak jauh seperti ini, pendidik ataupun mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dituntut untuk tidak berhenti untuk terus mengembangkan inovasi dan alternatif media pembelajaran yang dapat membantu proses pembelajaran dengan lebih baik. Hal ini pula yang menginspirasi dua mahasiswa Program Studi Tadris Matematika UIN Malang untuk mengembangkan media pembelajaran digital interaktif pada materi pola bilangan.

Dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh Institut Agama Islam Negeri Kediri secara daring pada bulan Juni hingga Agustus 2021, tim Tadris Matematika UIN Malang berhasil menjadi jawara dengan mengajukan judul inovasi “ASPOBIL: Media Berbasis Articulate Storyline Pola Bilangan untuk Melatih Proses Conjecturing Siswa SMP”. Inovasi yang diajukan Faizal Chandra dan Asfira Zakiatun Nisa’ dengan pembimbing bapak Dr. Imam Rofiki, M.Pd ini dapat diterapkan untuk mendukung pengembangan teknologi di bidang pendidikan sekaligus menjadi terobosan baru bagi pendidik dalam melaksanakan pembelajaran matematika materi pola bilangan khususnya pada saat pembelajaran jarak jauh di masa kini maupun mendatang.

Faizal menjelaskan prototipe ASPOBIL merupakan media pembelajaran yang memudahkan siswa dalam mempelajari dan menggeneralisasi pola bilangan dengan tampilan yang menarik serta menu yang beragam.

“Saya menemukan masalah pada siswa sewaktu saya PKL mengenai kesulitan siswa dalam menggeneralisasi pola salah satunya karena proses konjektur mereka yang belum terlatih sehingga membuat kami berinovasi untuk membuat terobosan bagaimana melatih kenjektur siswa tersebut,” terangnya, Rabu (25/8).

Asfira menambahkan bahwa media ini merupakan hasil pengaplikasian software Articulate Storyline  dengan dilengkapi menu yang beragam dan setiap menu berkaitan dengan proses conjecturing pola bilangan siswa sehingga timnya menamai media tersebut dengan ASPOBIL (Articulate Storyline Pola Bilangan). Dia menjelaskan bahwa cara kerja media ini sederhana dan bisa diakses di berbagai perangkat salah satunya adalah smartphone baik secara online melalui link maupun offline dengan mengunduh media tersebut.

Media pembelajaran ASPOBIL ini nantinya akan dikembangkan dengan melakukan implementasi serta uji valid, praktis, dan efektif yang ada di lapangan.

“Media ASPOBIL ini mempunyai keunggulan pada menunya yang beragam. Namun, penelitian pengembangan ini tidak hanya sampai disini, tetapi suatu keharusan untuk menindak lanjuti dalam pengimplementasian di kelas,” tambah pak Rofiki.

Dalam kompetisi LKTI MaPCom 2021 tersebut, tim Tadris Matematika UIN Malang berhasil menyabet gelar juara usai menyisihkan beragam karya tulis ilmiah dan prototipe dari berbagai tim perguruan tinggi di Indonesia. Dalam babak final yang diselenggarakan tanggal 25 Agustus 2021, tim Tadris Matematika UIN Malang terpilih menduduki posisi pertama setelah bersaing dengan 25 besar hingga babak final tanya jawab dengan 10 finalis lainnya.

17Feb/20

Puisi

Terukir Saat Bersama, Namun Rapuh Saat Berpisah

Oleh: Moch. Sukron Makmun

Sumber: Dokumen Pribadi

Musim telah berganti…

Kemarau pun telah tiba…

Kini angin bertiup kencang

Daun-daun telah gugur bertebaran

Bahkan air sungai pun telah mengering

Bumi ini telah tandus…

Hal yang baru telah tiba

Bahkan kita berpijak di bumi yang sama

Berada di bawah nangungan yang sama

Berjabat tangan, saling mengenal, saling sapa…

Tanpa rasa sadar kehidupan baru akan ku lintasi bersamamu kawan…

Dengan terbenamnya sang surya disitulah terbentuk sebuah hubungan persahabatan…

Kawan…                                                                          

Kau bagaikan jam tangan yang melingkari pergelanganku…

Setiap saat kau selalu hadir disisiku

Pundak tubuh ini kau jadikan sebuah sandaran

Jari jari tangan ini mampu menyuapimu

Dalam persahabatan inilah aku dapat mengukir kenangan indah di saat bersamamu…

Kawan kau telah hadir dalam hidupku

Sulit untukku melepaskanmu

Tetapi kini aku tak berdaya…

Kau telah berpaling dariku…

Kau telah membuat hatiku remuk

Kau telah meninggalkan aku sendirian di bawah atap rumah kayu…

Hati ini tak mampu untuk menampung kepedihan

Kini hatiku telah rapuh disaat berpisah

Kawan apa kau tau

Hubungan ini bagaikan kayu jati yang di gerumuni oleh rayap…

Kayu itu begitu kuat…

Namun pada dasarnya kayu itu akan tetap rapuh…

Tetapi diri ini tetap berharap kau kembali kepadaku…

Kawan aku akan menantimu…

Untuk kembali kepadaku

16Dec/19

Rindu dariku, Jenuh olehmu

Karya : Melati Indah Sari

kepada jarak

Ribuan kilo meter disana

aku tak faham

akankah langitmu sama?

senja masih kau tatap dengan rasa

embun kau balut dengan cinta

pagi dan malam kau selimuti rasa suka duka

ataukah

langitmu kini berbeda?

senja hanya bak kertas usang

tak kau lihat bahkan terbuang

pagimu tak terjaga

malam hening kau sia sia kan begitu saja

Kepada waktu yang telah ku tunggu

inikah pertanda rindu

jatuhnya bak daun berguguran

tak tentu arah

tak temu waktu salah

dimanapun

kapanpun ia mau

rindu datang bertuan tak karuan.

Bagaimana denganya?

akankah rindu bersanding rindu

Ataukah rindu bertepuk dengan acuh dan gaduh

Semoga jenuh tak menghentikan rindu

Semoga bosan tak hentikan rasa

Semoga kita tak berpisah selamanya.

16Dec/19

Mesin Waktu

Malam yang mencekam,  seakan dunia telah berubah arah dari sebelumnya. Kini malam gelap yang  tak lagi terasa dingin, malam justru terasa begitu panas. Malam tidak lagi gelap dengan ditemani oleh sinar purnama yang dikelilingi beribu-ribu bintang, melainkan malam cukup terang bagaikan siang yang dipenuhi dengan cahaya kehangatan. Itulah duniaku, dunia yang kini kau berada di sana. Dunia yang memunculkan sisi berbeda dari masa sebelumnya. Dunia modern yang sangat kau bangga-banggakan.

                Canggih. Mungkin untuk saat ini dan nanti, kata tersebut adalah kata yang paling sesuai dengan kondisi kehidupan yang kita jalani saat ini. Ya, kita berada di generasi yang dengan berjuta-juta teknologi. Kami mengatakan bahwa diri kami adalah generasi milenial. Generasi  yang kaya pengetahuan akan semua kecanggihan sebuah teknologi.

Remang-remang mataku mulai terbuka. Aku mulai menatap semua yang ada disekelilingku. Begitu sejuk nan indah. Rindang dengan penuh pepohonan , udara yang terasa yang menyejukkan badan, semilir angin malam yang masih mampu membelai lembut kulitku hingga menyusup masuk bagai pencuri ke dalam pori-pori.

Aku adalah seorang wanita paruh baya dengan rambut panjang terurai yang melambai-lambai dan terombang-ambing dipermainkan oleh siliran angina malam. Mataku sayu, dengan tubuh kurus dan tinggi yang sesuai dan proposional. Aku sedikit menggigil merasakan dingin yang menggetarkan kaki dan tanganku. Aku menarik kedua tanganku ke depan dan mulai terduduk dari tidurku.   

Kini aku mulai sepenuhnya tersadar dari tidurku, aku mulai membuka mataku. Mengumpulkan semangat dalam diriku agar aku terbangun dan memulai perjalanan baru menyusuri lika-liku dunia yang penuh dengan misteri. Butuh energi yang kuat dalam bagiku untuk memahami dunia yang tak kumengerti.

Aku tak mengingat apapun, yang aku ingat hanyalah ketika terakhir kali aku berada di depan sebuah mesin besar yang sangat luas. Kemudian aku mulai menekan salah satu tombol terbesar berwarna merah dari puluhan tombol yang disediakan, aku menekannya dengan penuh keyakinan dan kesadaran. Kemudian entah apa yang terjadi, aku tak mengingat apapun. Saat ini, aku berada di sebuah tempat  asing yang tak aku ketahui dimana kah sebenarnya diriku. Memang ada banyak orang di sekitarku, tapi aku tak mengenalnya sama sekali, mereka sangat asing. Bahkan dimana aku? Tempat manakah ini? Pertanyaan ini seakan menggoyahkan hatiku untuk lebih. Aku ingin menelusurimu lebih dalam.

Lagi-lagi, banyak orang yang ada disini, mereka berpenampilan sederhana sama sepertiku. Mereka duduk beramai-ramai dibawah pohon beringin rindang yang ditemani sebuah obor kecil diatasnya. Terasa sangat seru dan menyenangkan, namun aku tak tertarik pada mereka. Meski terlihat ramah. Aku lebih tertarik mengelingingi alam yang rindang dan sangat menakjubkan.

Hingga aku mulai berdiri di atas dua kakiku. Kupandadangi dengan mata telanjang apa yang ada disekelilingku, sungguh menentramkan jiwaku. Mungkin kalian akan merasakan hal yang indah, jika kalian juga berada disini bersamaku. Bahkan ribuan kata indah takkan mampu mendefinisikan betapa indahnya dunia saat ini di depan mata kalian. Bibir kalian akan selalu menebarkan sebuah senyum meski tak bercanda dengan siapapun. Mata kalian akan terpejam sejenak sembari merasakan aliran udara yang merambat pelan melewati aliran darah dalam tubuh kerimping kalian. tak kan bosan kelima indera ini menikmati indahnya udara disekeliling kalian yang menebarkan aroma kelembutan alam yang indah. Mata kalian akan tetap bisa merasakan indahnya dunia walau terpejam sekalipun.

Akupun mulai berjalan mengelilingi rerimbunan pepohonan seorang diri. Kemudian mataku terpaku pada sebuah gerbang yang besar dan menjulang tinggi. Aku menengadahkan kepalaku menatap ujung pintu yang seakan hendak menyentuh langit.  Bagaikan akan menyibak awan menembus langit tak terbatas.

“Waw”. Itulah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku ketika aku terkesima memandangi pintu besi  nan gagah yang ada dihadapanku. Aku berada sekitar jarak 3 meter dari gerbang yang rapat tertutup. Ketika kaki ini mulai melangkah satu dengan kaki kananku, terdengar sebuah gerakan yang membuatku terkejut. Suara yang berasal dari gerbang besi berwarna gelap itu.

“Grek…..grek……..grek………..”. Belahan dari pintu gerbang mulai terbuka. Aku mengerutkan kedua dahiku. Bagaimana hal itu terjadi? Tak ada seorangpun yang berdiri di sekitar pintu , hanya ada aku seorang. Aku yang masih beru pertama kali melihatnya. Tak mungkin aku dapat mendorongnya bahkan menyentuhnya saja jemari kecilku ini tak kan sampai. Sekali lagi dengan berani aku melangkah dengan kaki kiriku.  Dan benar saja, pintu tersebut muali terbuka lagi lebih lebar disertai suara berisik.

“Halooo……….”. Suaraku terdengar lemah memanggil entah siapa. Hanya ingin lebih tahu apakah ada orang mendengarku. Adakah orang di balik gerbang pemisah tersebut. Bagiku mustahil jika sebuah pintu gagah nan besar dapat dibuka hanya dengan satu orang saja. Namun semua tetap saja sunyi membisu,  tak ku dengar suara apapun dari balik pintu tersebut. Hanya suara jangkrik yang memecah keheningan malam.

“Permisi, adakah seseorang di dalam?”. Tetap saja tak ada jawaban yang menjawab rasa penasaranku. Kemudian aku terus melangkah dengan terpaku pada satu titik. Gerbang besi ditengah-tengah hutan. Semakin aku mendekat semakin gerbang terbuka dengan lebarnya. Ketika aku berada sejajar menyamai letak gerbang tersebut, tak ada seorang pun yang kutemukan di balik pintu.

Aku pun menatap kedepan. Sungguh mataku kini terbelalak lebar-lebar. Tubuhku menjadi kaku. Aku mulai berusaha memahami apa yang ada sekitarku. Penasaranku kini berada pada titik teratas. Tanganku yang semula merasa kedinginan, kini mulai mencair, bingung kemarut menyelimuti pikiranku. Aku merasakan atmosfer lain di tempat yang ditutupi sebuah gerbang mewah dan megah.

Tempat ini sungguh berbeda, jika di tempat sebelumnya, aku menatap gelapnya malam dengan ribuan bintang yang menyebar menawarkan cinta pada sang rembulan, gelap namun indah, disini sungguh berbeda. Jika sebelumnya kutemui api kecil diatas obor yang menyala lemah sebagai penunjuk arah dan pencahayaan yang terikat kuat dibatang pohon besar dengan sebuah tali jerami rapuh. Yang dibawahnya menadi tempat naungan rerumputan hijau ketika malam telah datang, disini tidak. Jika sebelumnya dinginnya angin malam adalah selimut yang membelai tubuhku dengan penuh kealamian dan mengibarkan rambut panjangku, disini tidak.

Dunia terasa sangat berbeda disini, inilah sisi lain dunia, bagai dua mata pisau yang berbeda arah. Cukup lama aku berdiri disini. Tak bosan aku menatap sekitar. Heran, lagi-lagi heran. Tak kutemukan pohon disini, udara begitu sangat panas dan tidak menyejukkan tubuhku. Tak ada udara dingin. Tak ada api kecil sebagai penghangatnnya.

Aku menengadahkan kepalaku keatas menatap diantara dua buah bangunan yang menjulang tinggi kelangit biru. Walaupun malam, bukan bintang yang aku temukan disini. Bahkan bulan pun bagai kan hilang cahayanya. Hingga malam terasa bagaikan siang karena terangnya. Bukan lagi obor yang terikat pada batang pohon sebagai penerang, melainkan lampu-lampu elektronik yang terpaku disepanjang jalan dengan penuh warna-warni pelangi yang memanjakan mata . Namun suatu kesedihan kini mulai menyelimutiku, tak ada lagi pohon besar yang tertanam disini. Tak ada kata hijau untuk menggambarkan tempat seluas ini.

Kulihat dari arah kananku, sebuah pabrik mewah menyemburkan gumpalan awan hitam dari sebuah cerobong asap kuno yang panas ke atas langit biru seakan hendak menjadikannya kelabu. Sungguh aku sangat benci melihatnya.

Aku berjalan diantara dua gedung mewah nan indah dan menantang langit. Aku terpesona pada dinding gedung  tersebut. Setiap mata mampu menembus dinding memata-matai apa yang terjadi dalam gedung hanya dengan pandangan mata. Aku menatap dindingnya yang bersih dan terbuat dari kaca. Indah. Aku ingin berada di dalam sana. Mereka juga mampu melihat kami, para pejalan kaki trotoar yang sedang memperhatikannya. Mereka menikmati kopi pahit dan saling bercengkerama bersama sambil menatap dunia luar yang begitu luas. Kehidupan generasi milenial.

Sebuah robot kecil memanjat dinding teratas di luar kaca. Robot-robot yang menggantikan manusia sebagai pembersih kaca. Dengan tangan berkabelnya, ia menjalar ke sudut-sudut dinding kaca. Tanpa kepala, tanpa mata, tapi mereka, para robot milenial adalah pembersih gedung kaca hingga menjadi mengkilap seperti sekarang ini.  

Tak banyak orang yang berlalu lalang , hanya beberapa kaki yang dapat kuhitung sedang berjalan diatas trotoar. Terlalu banyak kendaraan roda empat dengan body mengkilap hingga menyilaukan mata. Memenuhi jalan hampir tanpa sekat. Jalanan yang macet dan berasap hitam kendaraan yang berbau tak sedap. Mungkin adalah hal biasa bagi keadaan sekitar, tapi indra penciumanku hendak memberontak dengan keadaan itu namun tak bisa. 

Tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti di hadapanku. Aku terdiam sejenak. Kupandangi mobil yang mewah dengan kaca gelap nan elegan. Inilah zaman teknologi yang berkembang dengan begitu pesat dari ilmu pengetahuan. Tak lama, padamlah cahaya lampu dari mobil silver disertai dengan terpakunya keempat roda hitamnya pada aspal jalanan yang terdiam. Tidak ada lagi suara mesin yang mendengung. Pintu mobil terbuka keatas bagaikan tirai yang disibakkan. Sungguh indah. Aku, sebagai orang yang pertama kali melihatnya berdecak kagum dan tersenyum, meskipun orang-orang hanya acuh tak acuh terhadap hal tersebut.

Keluarlah sepatu hitam dengan kilauannya, kemudian disusul dengan tubuh yang atletis dan gagah dibalut dengan jas biru tua yang sangat cocok dikenakan pria separuh baya tersebut. Dilihat dari panampilannya, ia bukanlah orang dari kalangan rakyat biasa, melainkan dari kalangan atas yang namanya terkenal hingga kepelosok negeri. Aku melihatnya berjalan dengan gagah menuju ke gedung yang membuatku terpesona sebelumnya. Tampan dan rapi, ‘mungkin dia adalah pemilik perusahaan yang mewah,’ batinku. Entah sombong atau gagah, tapi cara berjalan seperti itu memanglah hanya ada di kalangan orang-orang ternama.  Semua orang begitu menghormatinya.

Aku masih berlanjut menyusuri keramaian jalan kota. Kota yang sangat berisik, namun aku merasa sangat kesepian. Aku belum merasa begitu kelelahan hingga aku terus melangkah menyusuri pinggiran kota. Semua orang terlihat menunduk ketika mereka berjalan, dengan sebuah benda yang disebut dengan gadget digenggamannya. Seakan mereka telah hafal benar dengan seluk beluk jalan yang mereka lalui, hingga mereka berjalan tanpa memperhatikan apa yang mereka lalui. Mereka hanya terfokus pada sebuah benda yang pas digenggaman mereka. Hatiku sangat miris melihat hal tersebut.

Sambil menggelengkan kepala, aku berjalan dan melihat sebuah mesin kotak yang banyak terdapat makanan dan minuman. Seketika, aku menjadi merasa kehausan dan ingin meneguk sebuah minuman dingin yang segar. Aku pun mulai mendekatinya dan bertanya-tanya dalam hati bagaimana aku bisa mendapatkan  sebuah minuman dari dalam. Sedangkan tak ada gagang pintu untuk aku membukanya. Aku masih memandanginya dengan diam. Tiba-tiba sebuah sepatu terdengar mendekat kearahku.

“Kamu mau yang soda kah?”. Seseorang tiba-tiba menghampiriku dan bertanya menawarkan sesuatu sambil menunjuk pada sebuah botol minuman dibalik kaca lemari es. Aku tercengang dan menatap wajah pria tersebut, lagi-lagi ia mengenakan jas, tampak keren. Namun ia adalah orang berbeda dengan pria yang keluar dari mobil mewah di depan gedung. Kemudian aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya tanpa berpikir panjang.

“Okee. Tunggu sebentar ya”. Katanya sambil merogoh saku celana lalu mengeluarkan sebuah dua koin emas yang dimasukkkan satu persatu pada salah satu sisi mesin tersebut kemudian keluarlah dua minuman yang sama di bawah kotak mesin tersebut.

“Ini, ambil saja”. Ia tersenyum sambil menyodorkan salah satu botol minumannya yang baru saja diambilnya dari mesin tersebut.

“Terimakasih”. Aku berkata sambil malu-malu. Aku pun terdiam dan menerimanya. Kupeganginya minuman tersebut, telapak tanganku kembali terasa sangat dingin dan membuatku ingin segera meminumnya membayangkan betapa segarnya minuman di genggamanku.

“Oh ya, kamu siapa?. Perkenalkan namaku Arga, aku bekerja di perusahaan di gedung deket sini”. Tanyanya sambil menunujukkan padaku dengan jari telunjuknya sebuah gedung besar yang aku temui sebelumnya. Aku pun menatap kearah jari tersebut diarahkan.

“Aku Dara. Salam kenal juga”. Aku menjawab pertanyaannya dengan nada lembut dan menyembunyikan sebuah nada malu.

“Hmm kamu dari mana? Kamu bekerja di sekitar sini juga kah? Penampilanmu sangat berbeda, terlihat sederhana, sepertinya kamu orang baru di sini”  Tanyanya seakan ia mulai penasaran denganku. Ia mulai mencurigaiku. Aku memang berpakaiann sangat sederhana, tidak seperti apa yang dikenakan di sekitarku. Mereka mengenakan pakaian ber-merk dan sangat mewah nan elegan. Sedangkan aku hanya berpakaian seadanya..

“Aku tidak tahu. Aku hanya penasaran dengan keadaan di sekitar sini. Mengapa tempat ini begitu berbeda dengan tempat di sekitarku. Aku sangat penasaran, bahkan aku pun lupa bagaimana aku bisa berada di sini”. Aku sedikit merasa sedikit kebingungan ketika ia menanyakan asal tempat tinggalku, di tempatku, aku tidak pernah menjumpai gedung bertingkat sepertii tadi, yang aku tahu di tempatku hanya ada lahan luas yang selalu dipenuhi oleh pepohonan yang indah dan rindang yang menyejukkan setiap mata yang memandangnya.

“Oh ya Dara, baiklah, apa yang membuatmu penasaran, aku ada sedikit waktu disini, mungkin aku bisa sedikit membantumu. Lagi pula aku sudah sangat akrab dengan alam dan keadaan yang ada di sini. Tadinya aku ingin pergi keluar mencari udara segar, karena merasa stress didalam kantor yang membosankan. Dan yahh, aku berpikir bagaimana aku bisa berjalan-jalan.” Ia mulai membuka pembicaraan seakan-akan sudah sangat akrab denganku. Aku pun mulai menceritakan apa yang aku alami dari awal dan bisa sampai sekarang.

“Tempat ini sangat asing bagiku, begitu panas meski malam hari, dan berbeda jauh dengan tempat tinggalku sebelumnya. Bangunan ini begitu megah dan mewah. Sungguh menakjubkan, semua adalah hal baru bagai berada di generasi yang lain”. Aku sudah mulai bisa terbuka pemikiran dengannya.

“Aku rasa kamu datang dari dimensi lain , kamu telah melewati mesin waktu dari masa lampau menuju masa sekarang, mungkin pada masa kamu, gedung dan bangunan yang menjulang tinggi yang gagah ini belum ada. Semua saat ini telah canggih berkat kemajuan teknologi dan ilmu sains. Ini semua mulai dibangun pada masa milenial”. Arga begitu teliti dan mulai membuka pemikiranku hingga sebagian pertanyaanku yang selama ini aku simpan mulai terjawab. Aku hanya mendengarkannya berbicara dan memahaminya.

“Pada masa ini, semua serba robot Dara, bahkan sumber daya manusia hampir punah dan mulai tidak diperhatikan lagi, semua telah digantikan oleh mesin dan robot yang membantu meringankan tenaga manusia. Namun mereka lebih dari itu, mereka telah menghapuskan tenaga kerja manusia, makanya pada zaman sekarang mulai banyak pengangguran, manusia hanya mementingkan gadget Dara, mereka berjalan namun tidak melihat jalan, mereka melihat gadget. Mereka berbicara bukan dengan mulut Dara, melainkan dengan bahasa tulisan yang ada didalam aplikasi sebuah gadget”

“Dara, mungkin semua ada dampak baik dan dampak buruknya, namun ketika mereka berbicara dengan lawan bicara,mereka lebih tertarik untuk memerhatikan gadgetnya daripada lawan bicaranya. Aku semakin bosan dengan kehidupan di kantor yang seperti itu, mereka berbicara denganku namun tak menatapku, mereka seakan berbicara lewat gadget.” Arga berhenti sejenak sambil menghembuskan nafas dalam-dalam seakan membuktikan rasa kekesalannya pada kehidupannya yang tentu ada baik dan buruknya. Aku masih bertanya-tanya padanya dan kami memutuskan untuk berbicara sambil duduk di sebuah bangku kecil terbuat dari kayu dibawah lampu jalanan yang remang-remang cahayanya, namun sangat indah.

“Arga bagaimana di sini begitu panas, mengapa aku tak dapat menjumpai pepohonan yang sangat rindang dan cukup luas di sini, semua telah dipenuhi oleh bangunan berpuluh-puluh lantai yang menjulang tinggi ke atas hampir menabrak langit?” aku bertanya pada Arga bagaimana bisa hutan tak kutemukan.

“Kemarilah Dara, ikutlah denganku”. Arga bangun dari duduknya dan menarik lenganku entah akan menuju kemana ia membawaku. Aku terperanjat dan hanya mengikuti langkahnya dari belakang. Ia masih menggenggam tanganku. Diajaknya aku menyusuri jalan yang jauh dari tempat ku duduk bersamanya.

Hingga aku terdiam melihat semua pemandangan ini. Ia melepaskan genggaman tangannya dan menatapku agar ia bisa melihat bagaimana ekspresi wajahku. Tentu saja aku sangat terkejut, air mata ku kini, setetes demi setetes mulai turun membasahi pipiku. Aku mengusap air mata yang keluar membasahi pipiku dan menatap Arga yang juga menatapku.

Tahukah kalian apa yang aku lihat di sini? Sebuah pemandangan yang menyesakkan mata. Asap hitam menggumpal dimana-mana. Mentup jarak pandang kita semua. Lebih panas dari tempat sebelumnya. Kabut hitam beterbangan menutup semua kawasan di wilayah ini.

“Dara, ini adalah hutan kami yang dahulu yang sangat rindang dan segar. Mereka telah membakar hutan kesayangan kami. Bukan manusia yang tak berpendidikan yang membakarnya, justru manusia dengan jas berdasilah yang telah melakukan semua ini, mereka sangat gagah di dalam dengan mengenakan jas hitam dan bersepatu mengkilap, mengendarai sebuah mobil mewah berjuta-juta harganya. Mereka telah merampas hak kami, demi  apa Dara? Kau tahu? Demi sebuah bangunan bertingkat dari kaca yang indah dan canggih tadi katanya.” Ia mulai melampiaskan kekesalannya. Air mataku masih saja jatuh setelah mendengar kata-katanya. Bahkan terasa lebih miris ketika manusia berdasilah yang memerintahkannya.

“Kau lihat Dara, semua makhluk dan hutan ini kini telah hampir semuanya meninggal disini, bersama lenyapnya pepohonan mereka juga akan ikut memunah dan musnah. Mereka menghembuskan nafas mereka disini.” Kekesalannya Arga terlihat mulai meninggi.

“Arga, ibu itu, dan anak-anaknya” aku menunjuk pada seorang ibu dan seorang anak yang berusia sekitar 8 tahun, ia menangis dan mereka dibantu dengan oksigen, alat bantu pernafasan, agar mereka tetap sehat. Aku mulai menangis, dan membayangkan bagaiamana dunia saat ini, kemajuan yang baik justru menimbulkan masalah yang serius bagi masyarakat yang ada di daerah sekitarnya.

“Iya, mereka terkena asma Dara, bahkan lebih parah. Itu akibat kebakaran hutan  yang ada disini. Itulah salah satu dampaknya dan yang sekarang terjadi masa kini Dara.”

Belum selesai Arga menjelaskan semuanya tibalah sebuah benda yang sama di sampingku. Benda yang entah dari mana asalnya, namun benda itu ada ketika aku menghadap ke samping kanan. Aku terkejut. Benda itu adalah benda yang sama persis dengan benda yang aku tekan-tekan ketika aku hendak memasuki arena ini, sebelum aku lupa dimana aku sekarang. Aku menatap kebelakang dan melihat Arga. Arga menatapku dan melambaikan tangannya. Aku menjadi mengerti dengan semua ini, aku berada di depan mesin waktu yang akan membawaku ke masa lalu yang masih belum banyak teknologi, dunia yang masih segar alami yang masih banyak ditumbuhi dengan pepohonan yang rindang. Duniaku yang sebenarnya.

Aku melambaikan tangan pada Arga juga, sebagai tanda perpisahan bahwa waktuku untuk menjelajahi masa depan telah berakhir, meski masih banyak pertanyaan yang ingin aku ketahui darinya, namun hal itu harus sekali lagi aku urungkan, atau aku takkan pernah kembali ke masa sebelumnya.  Kami tersenyum sebentar, saling mengucapkan kata terimakasih dalam hati atas pertemuan singkat yang sangat membuatku haru dan kagum seperti saat ini. Terimakasih kawan, telah menyempatkan waktumu membantu ku memahami masa milenialmu, masa penuh dengan gadget dalam otak dan pikiran manusia, masa dimana manusia tak lagi diperlukan dalam tenaag kerjanya karena telah tergusur oleh robot-robot milenial, masa perkembangan sains dan teknologi berkembang pesat dan mempengaruhi keadaan alam sekitar.

Aku kembali menatap mesin besar dihadapanku. Aku meletakkan jari telunjuk tanganku di atas tombol merah. Aku memejamkan mataku dan menekannya kuat-kuat. Aku menghilang meninggalkan Arga sendirian yang di sana ia melihatku menghilang terbawa oleh mesin waktu. Sampai  jumpa kawan.

Ketika aku tersadar aku sudah dikelillingi di sekitar pepohonan rimbun. Banyak orang yang masih memetik teh dan bercengkrama sambal tertawa ria. Tidak ada gedung pencakar langit. Hanya rumah sederhana yang penuh kenyamanan dan kesejukan alam.

Karya : Iffa Abdillah Kinasih

16Dec/19

Persekusi di Ruang Konferensi

Ada kalimat yang tidak mampu

Dijangkau ruang dan waktu.

Ada pemikiran yang tidak dapat ditahan

Karena paradigma kebebasan tanpa batasan.

Jika akhir skenarionya banyak menelan korban,

Dengan dalih kebenaran tidak untuk dibungkam.

Konferensi,

Bukan medan mematahkan segala argumentasi,

Memudarkan justifikasi,

Ataupun memburamkan segala eksistensi

Masih saja dengan persepsi bahwa yang tampil menyuarakan narasi

Adalah pribadi yang sangat berarti,

Membangun pendapat orang agar kita terlihat peduli.

Ini, hanya bisikan hati dalam anomali arogansi

Tentang harga diri,

Yang masih saja sebagai acuan destinasi.

Istilahnya ‘demi citra diri’.

Lupa diri…

Basi

Ketika konferensi sebagai kancah memperbaiki.

Ajang evaluasi.

Bertonggak toleransi.

Resistansi kolaborasi.

Tidak akan ada persekusi di ruang konferensi.

Lagi.

Malang, 26 Agustus 2019

Karya : Asfira Zakiatun Nisa’

16Dec/19

Monolog dalam Kereta

20.40 WIB saksi yang terbungkam dalam rintik hujan. Sepi yang merasai dibalik keramaian manusia yang lalu lalang hendak pulang dalam gelapnya malam dengan kereta yang akan melaju kencang. Aku terduduk diantara sekat gerbong yang berguncang. Menatap layar ponsel mati yang lama kupegang. Mataku terpejam.

“Aku ingin Tuhan mengambil sebagian ingatanku lima bulan ini”

“Mengapa? Apakah ada sesuatu?”

“Banyak. Aku hanya ingin kembali pada titik awal pijakan dan komitmenku. Mm…Apakah aku seorang manusia yang aneh?”

“Secara psikologis, tidak ada yang dinamakan manusia aneh. Sedangkan secara filosofis, semua manusia itu aneh. Jika kita tarik logis empirisnya, semua manusia itu aneh sehingga tidak ada yang dianggap aneh. Cukup paham?”

“Paham. Aku hanya bingung dengan mereka. Mereka itu rumit.”

“Rumit bagaimana?”

“Terkadang aku bingung harus berbuat apa. Diam memberikanku ketenangan meski pada akhirnya tak ada sebuah kenangan yang ditinggalkan. Sedangkan ketika aku mencoba membangun kebahagiaan dengan bangkit dari diam, aku memberikan ribuan kekecewaan dan cela tak kunjung redam”

“Mereka tidak rumit tapi kau yang membuat rumit. Apakah kau hidup untuk orang lain?”

“Tentu saja tidak.”

Aku tersadar ketika seorang pria paruh baya dengan memakai topi dan kacamatanya yang membuat ia tampak seorang berwibawa menepuk pundakku. Ia menarik lenganku untuk duduk di kursi kosong sebelahnya.

“Tidurlah, Nak. Saya tau kamu sangat kelelahan”, kata pria paruh baya itu seraya memakai masker.

“Terima kasih banyak, Pak. Anda sangat baik sekali”

“Anaknya, Pak?”, tanya seorang laki-laki yang duduk di bangku seberang.

“Iya, anakku yang kutemukan disana. Hehe”, katanya sambil tersenyum.

***

Aku kembali memejamkan mata meski malam yang dingin disertai gerimis di luar jendela kereta tidak membuatku untuk terbenam dalam lautan impian. Kecamuk kegelisahan dan tetesan air mata mewarnai setiap perjalanan. Aku melanjutkan dialektika antara aku dengan diriku. Bercakap dalam sendu…

“Lalu, kenapa kau selalu memikirkan apa yang dipikirkan orang lain kepadamu?”

“Aku hanya ingin memperbaiki diri berdasarkan pandangan mereka”

“Kenapa harus berdasarkan pandangan mereka? Lagipula, setauku 90 persen kau seorang apatis”

“Tapi aku juga seorang altruis dan melankolis!”

“Lalu? Apakah seorang altruis dan melankolis mesti maju hanya dari pandangan orang?”

“Tidak… Aku tau, tapi aku ragu. Aku ragu dalam segala hal. Aku ragu untuk bicara, aku ragu dalam mengeluarkan pertanyaan, aku ragu dalam sebuah jawaban, aku ragu melangkah dalam lika-liku kehidupan, dan aku ragu untuk maju ke depan. Keraguanku selama ini yang membuatku semakin jauh dari ambang yang aku targetkan dan semakin jauh dari ketajaman intuisi yang kugunakan sebagai pembenaran. Setelah aku mencoba menghapus keraguan itu dan aku mulai memberikan kepercayaan kepada seseorang, entah kenapa baru aku tau menyakitkannya kekecawaan. Aku kembali menjadi peragu karena aku terlalu percaya sehingga aku merasakan bagaimana itu kecewa.”

“Dan kau sendiri yang merobohkan kepercayaan itu. Kurasa, kau tidak hanya seorang apatis, altruis dan melankolis. Namun kau juga seorang skeptis. ”

“Mungkin seperti itu”

“Kau pernah dengar hukum relativisme Protagoras dalam doktrin ‘homo mensura-nya’?”

“Kurasa belum”

“Bahwa manusia adalah ukuran bagi segalanya. Merupakan usaha untuk membatasi semua pernyataan kepada orang yang membuatnya. Sebagaimana apa yang terasa enak bagi seseorang tidak tentu enak bagi yang lain. Demikian juga mengenai apa yang benar bagi seseorang tidak tentu benar bagi yang lain. Keraguanmu itu merupakan penyangkalan diri dan secara harfiah telah terbukti sepenuhnya absurd.”

“Benar sekali. Aku memang tidak dapat mencapai kebenaran objektif, yaitu pertimbanganku. Tapi, mungkin dengan keraguan itu aku akan lebih berhati-hati.”

Gerimis dan tangis di malam yang semakin pekat dalam kabut metastasis. Ini adalah kehidupan yang penuh alegoris. Intuisi yang merasai, afeksi yang menggerogoti, filantropi yang menyelimuti. Aku, bagai simalakama dalam dilemma yang tak mengerti dunia manusia.

“Seorang skeptis pasti tau bahwa pertanyaan kritis tidak dapat diajukan secara konsisten dan realisme adalah suatu pengandaian pemikiran yang bersifat absolut. Mulai saat ini, lakukan apa yang kau anggap benar. Jika kau terus berada di lingkaran kediamanmu dan hanya akan bergerak jika ada orang yang menggerakkanmu, kau hanya akan jatuh. Cukup sampai disini kau ditindas. Hentikan kepolosan bodohmu selama ini! Ini adalah awal dari akhir! Kalau kau ingin maju, jangan kau tengok belakang. Tapi, hadapi apa yang ada di depan tanpa kau sia-siakan secuil pun kesempatan. Untuk kedua kalinya, kau akan kembali dilahirkan dengan tekad yang tak kunjung padam, dengan harapan tanpa keraguan, dengan penerimaan segala kekecewaan, dengan perubahan dan perbedaan. Kereta ini akan menjadi legenda dan saksi dari kelahiran seorang perintis jalan kemenangan yang akan kau torehkan.”

Karya : Asfira Zakiatun Nisa’

16Dec/19

Intrik dalam Politik Dramatik

Filantropi kini sudah tiada arti

Begitu pula tak ada harganya setiap argumentasi

Membunuh mati dalam tuntutan menjadi ajang kontestasi

Bahkan menggadaikan keimanan bukan suatu hal langka lagi

Lantaran hanya selalu mengutamakan istilah ‘Demi’

Hujah perjuangan yang selama ini kita suarakan

Belum sempat membuahkan keberhasilan

Banyak diantaranya yang memicu pertengkaran

Demi memperebutkan kursi kekuasaan

Tanpa peduli lagi tentang harga dan nilai kebenaran

Duduk politik yang kian mencabik-cabik

Membuat transisi politik autentik menjadi sintetik

Karena ini bukan perihal fanatik yang menarik

Bukan pula soal polemik yang membungkam segala kritik

Ini tantang kami yang menginginkan regulasi politik yang apik

Bukan politik dramatik yang penuh akan intrik

Untukmu para petinggi yang saat ini bersandar di tahta mewahnya

Sekolah tinggi ataupun sarjana boleh saja

Tapi kami tak butuh politisi yang hanya mengandalkan retorika tanpa aksi nyata

Dan siapalah kami? Kami hanyalah rakyat biasa

Yang terombang-ambing dalam arus dilema sengketa

Hingga sampai saat ini tak berhenti menanti sejuta harap, cita, dan asa

Cita untuk Indonesia merdeka yang sesungguhnya.

Blitar, 22 Juni 2019

Karya : Asfira Zakiatun Nisa’

13Dec/19

Petrikor Semesta

Kau, aku, dan narasi amerta

Tentang cinta yang bernyawa,

Cita-cita yang nyata.

Tentang lika liku luka

Hidup dan mati setelahnya

Dalam muara petrikor semesta

Kau, aku, dan narasi amerta

Tak mampu ditafsirkan segala paradigma

Tak dapat dita’rifkan bak kuantum fisika

Di sela-sela lakuna yang tak terjamah logika

Terukir kisah kita yang melegenda

Aku, putra bangsa

Dalam muara petrikor semesta

Kau, aku, dan narasi amerta

Yang tersurat dalam hikayat candramawa

Yang tak pernah menafikkan perihal rasa ataupun setia

Dalam renjis belantara renjana

Kau, tokoh utama dari seluruh wacana

Dalam muara petrikor semesta

Tentu saja.

Malang, 20 Agustus 2019

13Dec/19

Metafora Angka

Tertuang dalam celah yang hampir patah

Angka menjejak diatas jumantara yang terbelah

Doktrin yang berpilin dalam teorema yang mengejewantah

Renjana, bersimpuh dalam syair mirat falsafah

Inilah sebuah kisah dengan langkah yang menggema dalam ukiran sejarah

Sejatinya, kita adalah kafilah yang berpacu menerpa logika dalam gelagah.

Membuka kelima indra hingga terasa getaran betapa tak cukup berdiam dalam nyaman

Aksioma mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak membutuhkan suatu alasan

Tapi, perlu kau tau makna dan arti yang tergadai dalam nurani

Entah saat ini ataupun nanti, hasil tak akan pernah menghianati

Memang metafora angka yang kita pahami tak dapat dieja dengan rentetan algoritma

Aproksimasi dalam lembah yang tak terjamah secara harfiah pun hanya sebatas lemma

Tergores dalam kekuatan dari segala ketakutan

Inginkan kepastian yang kita temukan dari segala keraguan

Karena kami adalah perintis jalan yang mendobrak perbedaan

Analogi tanpa ketaksaan, kami berdiri tegap di atas metafora angka yang akan kita buktikan.

Blitar, 17 Juli 2019

13Dec/19

Zenith dan Nadir

Yang terpintal dalam segala ihtifal,

Dalam dinding-dinding okultasi irasional,

Bermuara dalam aliran akal,

Semacam diferensial,

Kaum feodal

Kau Zenith dan aku Nadir,

Kau bak batuan safir sedang aku hanya tiara berbungkus pasir

Kita terpisah dalam lautan horizon yang berdesir

Dengan hembusan ego yang kian menghilir

Camkan! Aku tak akan berhenti menggumamkan dzikir

Walau kau tindas aku sampai menganak air

Roda akan terus bergulir.

Kau Zenith dan aku Nadir,

Tak ada satu pun konstelasi tanpa kehendak illahi

Tak ada suatu fusi yang mampu menciptakan detak nadi

Namun semua itu tak ada arti bagi kaum penganut arogansi

Karena aku percaya suatu hari,

Dimana kau akan menyadari,

Istilah ‘harga diri’ itu mati.

Jika setumpuk asa tak mampu membuka batas-batas cakrawala,

Jika kekuatan raga tak sanggup menahan panasnya korona,

Jika mimpi tak mampu menggetarkan seisi Bimasakti,

Jika dengan akhir nafas tak dapat mengalahkan luminositas,

Aku punya do’a yang dapat menembus rongga-rongga nebula,

Kau Zenith dan aku Nadir, kita terpisah dalam lautan horizon yang berdesir.

Blitar, 4 Juli 2019